Risalah Studi Banding

         Sebagai civitas akademika dari sebuah sekolah atau pesantren, Anda pernah melakukan studi banding ke sebuah sekolah atau pondok yang dianggap sukses untuk belajar sesuatu? Apa yang Anda dapatkan di sana? Apakah informasi dari kunjungan itu mampu diterapkan di sekolah atau pondok Anda? Bila tidak, mengapa? Kalau bisa diterapkan, bagaimana hasilnya? Apakah Anda puas dengan kunjungan tersebut dan cara sekolah Anda mengimplementasikannya?

Menjadi diri sendiri adalah sesuatu yang menarik. Tetapi, belajar dari mereka yang telah berhasil di satu bidang, adalah sesuatu yang lain. Fenomena studi banding memang bukan monopoli dunia pendidikan. Ini juga terjadi di sejumlah dewan kemakmuran masjid (DKM). Suatu hari, saya tertarik dengan postingan seorang teman di status WhatsApp-nya. Saya pun berkomentar.

“Waaah…asyik, nih…!” saya membuka pembicaraan.

“Mumpung gratis, Ustadz. Studi bandingnya cuma empat jam. Jalan-jalannya dua hari. Ha ha ha…”

“Ke Jogokariyan, Ustadz?”

“Iya. Tapi, kan budaya Jogya beda dengan Depok. Paling juga cuma bisa lihat-lihat. Sudah 20 tahun itu masjid sholat Subuhnya cuma satu shaf.”

“Siapa tahu setelah dari Jogokariyan akan berubah, Ustadz.”

“Belum tentu, karena beda tradisi.”

Begitu dialog saya dengan salah seorang sahabat yang tengah mengantar rombongan DKM dari sebuah masjid di Depok untuk melakukan studi banding ke Masjid Jogokariyan, Jogyakarta. Masjid itu memang fenomenal dan sejak beberapa tahun terakhir menjadi salah satu tujuan belajar para pengurus DKM dari sejumlah daerah di Indonesia. Sesungguhnya, apa yang mereka ingin pelajari dari Masjid Jogokariyan? Apakah mereka yang datang belajar dan menggali informasi dari pengurus DKM-nya berhasil menerapkan informasi tersebut di masjid mereka masing-masing? 

Baik, itu tema yang bisa bahas di tulisan berbeda. Sekarang, kita kaitkan dialog singkat via wa tersebut dengan tema pembiaraan kita tentang studi banding untuk sekolah. Apa dan bagaimana aktivitas studi banding itu dilakukan? Apa saja yang menjadi faktor yang menyebabkan aktivitas tersebut kurang efektif? Apa yang mesti diperhatikan agar semua informasi yang kita peroleh dari tempat belajar itu dapat kita terapkan di tempat kita? Mari kita diskusi serba sedikit.

Budaya Organisasi

Hakikat studi banding adalah membandingkan kondisi atau pencapaian sejumlah hal yang telah dimiliki atau dicapai oleh satu sekolah dengan sekolah atau pondok lain yang dianggap sudah lebih maju atau expert di bidang tersebut. Membandingkan. Jadi harus apple to apple: membandingkan fasilitas dan manajemen laundry, dapur, mekanisme perekrutan dan pembinaan musyrif, walikelas, dan sistem manajemen komunikasi dengan orang tua. Berbagai informasi tentang laundry, dapur, musyrif, walikelas, atau sistem komunikasi itu pada gilirannya akan dibandingkan dengan apa yang telah dimiliki. Inilah hakikat studi banding.

Bila kita belum punya, misalnya, sistem dan mekanisme perekrutan dan pembinaan musyrif, hakikatnya kita belum bisa melakukan studi banding untuk topik tersebut, karena memang belum ada entitas yang bisa dibandingkan. Informasi yang kita dapatkan justru akan jadi modal awal untuk membentuk sistem tersebut bila memang ada kedekatan jenis dan pola organisasi. Belanja informasi seperti itu akan menjadi sesuatu yang sangat membantu.

Agar studi banding menjadi efektif ada beberapa hal yang perlu disadari dan diperhatikan. Pertama, kenali betul budaya organisasi kita. Budaya organisasi dimulai dari peletakan dasar-dasar pendirian organisasi oleh pendiri. Setelah itu proses share of vision and share of mission pun berlangsung kepada seluruh anggota. Proses ini membutuhkan strategi komunikasi yang khas sesuai dengan kondisi organisasi yang bersangkutan.

Setiap sekolah atau pesantren punya budaya organisasinya masing-masing. Apa yang menjadi unggulan di satu sekolah, belum tentu bisa menjadi keunggulan di sekolah lain. Apa yang efektif di satu pesantren, belum tentu efektif di pesantren yang lain. Mengapa begitu? Poinnya sangat gamblang. Tidak ada satu organisasi pun yang berangkat dari ide, niat, pendekatan, proses, dan metodologi yang sama. Aktor, lingkungan, dan konsep pembentuk budaya organisasi yang berbeda akan melahirkan gaya kepemimpinan, pendekatan pengajaran, relasi dengan orang tua, prioritas program, strategi pemasaran, standar kelulusan, skema pembiayaan, dan aspek lain yang juga berbeda.

Kedua, belajarlah dari yang sekufu (sepadan). Sepadan apanya? Coba cek, siapa pendiri sekolah atau pondok tersebut? Apakah didirikan oleh seorang tokoh, yayasan umum, ormas, asosiasi, lembaga profesional, atau sebuah lembaga bisnis? Mengapa informasi ini penting? Karena dengan mengetahui siapa atau pihak mana yang mendirikan sekolah atau pondok tersebut, setidaknya kita bisa berasumsi: seperti apa model organisasi yang menaunginya, bagaimana proses pengambilan keputusan, apa visi dan misi, dari mana sumber keuangan, dan fokus organisasinya. Bila memang banyak kesamaannya dengan organisasi sekolah atau pondok kita, maka akan lebih memudahkan kita melakukan studi banding.

Ketiga, jangan fokus pada pencapaian yang kasat mata, tetapi cobalah korek dan gali informasi seperti, apa proses dan mekanisme di balik semua pencapaian tersebut (beyond)? Bukankah sebuah keberhasilan itu akan banyak berhubungan dengan resources, seperti sumber daya manusia, lingkungan, dan pembiayaan? Yang menarik adalah bagaimana mereka mengelola semua sumber daya tersebut untuk dapat menjadi alasan atas semua keberhasilan yang dapat kita lihat. Seperti apa perjuangan mereka memanfaatkan sejumlah keunggulan dan menyiasati berbagai keterbatasan? Kapan mereka mulai merencanakan rangkaian aktivitas yang berujung pada keberhasilan tersebut? Apakah struktur organisasi juga menjadi faktor keberhasilan mereka? Dari struktur yang mana aktivitas keberhasilan itu dimulai? Bagaimana mereka memanfaatkan resousces orang tua wali murid? Bagaimana mereka mengomunikasikan berbagai kepentigan sehingga orang tua wali murid dengan nyaman bersedia menjadi bagian dari tim sukses? Kapan mereka memulai komunikasi unik dan bernas tersebut?

Keempat, datanglah bersama decision maker. Mengapa ini penting? Tidak sedikit mereka yang hadir di sekolah yang ingin dipelajari, tetapi pada akhirnya tidak berhasil menerapkan informasi yang telah mereka dapatkan. Bukan karena terlalu sulit, tetapi karena mereka yang berangkat ke sekolah tersebut bukan pemegang policy. Studi banding pasti akan menyisakan pekerjaan rumah dan pintu masuknya adalah “political will” atau kebijakan dan juga kemauan dari pucuk pimpinan untuk berubah. Tetapi bila sang pimpinan tidak melewati siklus ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin terhadap apa yang dipelajari oleh timnya, maka keinginan untuk menerapkan informasi yang diperoleh bisa jadi jauh panggang dari api.  

Kelima, berangkatlah dari titik nol. Ketika akan studi banding, posisikan hati kita ada di tengah. Bila kita berangkat dengan egoisme yang berlebihan, bisa jadi kita tidak akan menemukan sesuatu yang menarik di tempat tujuan kita. Mengapa? Karena kita akan senantiasa melihat apa pun pencapaian mereka tetap ada di bawah apa yang sudah kita miliki. Tanpa kita sadari resistensi menguasai hati kita. Pada akhirnya, kita tidak bisa menemukan ilmu, apalagi hikmah dari pertemuan dengan mereka yang sesungguhnya ingin kita pelajari prestasinya.

Kita juga tidak boleh berangkat dengan pesimisme berlebihan. Mungkin ada pengalaman kurang menarik yang pernah kita alami sehingga kita apriori, apakah nanti informasi atau ilmu baru yang kita peroleh mampu kita implementasikan di sekolah atau pondok kita. Kita jadi kurang semangat menggali informasi karena kita diliputi ketidakyakinan apakah sekolah atau pondok kita mau dan mampu seperti mereka. Hati kita jadi tertutup. Kita menolak hadirnya paradigma baru. Bukan karena bangga atas diri sendiri, justru sebaliknya kita diliputi rasa imperior berlebihan. Kita bersembunyi ke liang-liang ketidakberdayaan dalam hati karena yakin apa pun hal positif yang kita dapat tidak mungkin bisa diterapkan di sekolah atau pondok kita.

Atau sebaliknya, kita berangkat dengan segenap kekosongan konsep, sehingga kita kehilangan esensi studi banding dan asyik tenggelam dalam kekaguman berlebihan. Sikap ini tidak bijak karena akhirnya kita tidak menghargai diri sendiri dan pencapaian kita secara organisasi selama ini. Seakan-akan apa yang kita miliki dan telah kita capai tidak berguna dan jelek semua, sedangkan hal baru yang kita lihat di sekolah atau pondok lain itu semuanya bagus dan membanggakan. Rumput tetangga memang akan selalu nampak lebih hijau daripada rumput di rumah kita sendiri.

Oleh karena itu, bijak dan dewasalah dalam melakukan studi banding. Kematangan sikap itu penting agar kita tetap bisa objektif dan realistis di tengah keterbatasan yang kita miliki dan kegemerlapan pencapaian orang lain. Kita tidak terjebak pada perasaan minder dan ke-ge-er-an berlebihan. Kita tetap punya ruang untuk percaya diri dan berbesar hati. Insya Allah inilah modal penting untuk bisa menyikapi hasil studi banding dengan kesadaran lingkungan yang paripurna.

Respon lain dari sikap tidak dewasa ini adalah sinisme. Ketika mendapatkan paradigma baru, diam-diam hati kita menolak,”Ah, pantas saja Anda bisa sukses, karena pimpinan Anda begini dan begitu. Pantas saja Anda bisa sejahtera, karena yayasan Anda begini dan begitu. Pantas saja guru-guru Anda betah dan kreatif, karena gajinya segini dan segitu. Pantas saja murid Anda banyak dan pinter-pinter karena fasilitas Anda begini dan begitu.” Terus saja Anda membentengi diri dan menampakkan ketidakdewasaan. Akhirnya, kita merusak hati kita sendiri. Naudzubillah min dzalik.

Mendobrak Kejumudan

Belajar paradigma dan pendekatan baru adalah satu langkah menuju perubahan. Salah satu antitesis keinginan untuk berubah adalah kejumudan. Jumud adalah konstruksi pikiran yang gagal melihat sesuatu dengan lebih luas lagi dan terperangkap pada mindset “memang begitu adanya”. Waspadalah! Kita bisa tertipu dan dilenakan comfort zone. Inilah yang memanjakan dan menyuburkan rasa berpuas diri (campers). Akhirnya, tanpa disadari kita terus menerus mengartikulasikan gagasan dan ujaran-ujaran usang yang membosankan dan sejujurnya sudah tidak tepat lagi digunakan sebagai jawaban atas kondisi kekinian. Bukankah bila ingin mendapatkan sesuatu yang baru dan berbeda kita harus meninggalkan pola-pola lama yang out of date?

Mari kita tekadkan beberapa hal. Pertama, bersemangatlah untuk tetap ada di jalur kreatif. Mereka yang kreatif adalah yang sangat menghargai dan memahami keterbatasan pada banyak hal. Mereka senantiasa ingin mengonstruksi dan menghasilkan sesuatu yang baru dan lebih baik dari waktu ke waktu. Ini sesuai dengan pesan Rasulullah,”Yang beruntung adalah mereka yang hari ini lebih baik daripada kemarin; Yang rugi adalah mereka yang hari ini sama dengan kemarin; Dan yang celaka adalah mereka yang hari ini lebih buruk daripada kemarin.”

Kedua, masuki arena sinergi dan kolaborasi dengan gembira. Kita membutuhkan tantangan dan horison berpikir baru yang memungkinkan kita terstimulus untuk memaksimalkan upaya dan potensi. Mereka yang tidak pernah ditantang dan ditekan suasana kompetitif tidak akan pernah menyadari bahwa ia membutuhkan cara pandang dan sikap baru, termasuk pentingnya bersinergi dan kolaborasi. Mereka yang tidak berupaya mencari dan melihat tantangan baru akan gagal melihat kebutuhan untuk berubah dan akan semakin nyaman hanya dengan pencapaian hari ini. Padahal, prestasi hari ini akan segera menjadi dongeng esok hari.

Ketiga, lipat resistensi, masukkan ke botol, dan buang ke laut. Mengapa begitu? Tidak jarang kita tertipu reputasi dan nama besar. Pendekatan dan metode baru yang mengancam kenyamanan dan eksistensi (semu) sering kali kita tolak dengan berbagai macam cara. Sebenarnya, sejumlah stimulus baru tentang bagaimana seharusnya kita menempatkan diri dalam perubahan perlahan-lahan akan menjadi a set of knowledge and value. Dengan keduanyalah kita merekonstruksi pola bertingkah laku baru yang sesuai dengan kondisi kekinian. 

Sahabat sukses yang dirahmati Allah, pendahulu kita juga pernah menasihati: di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Mari bergegas untuk mengakrabi perubahan dengan pencapaian dan prestasi lebih dahsyat lagi. Tingkatkan kreativitas dan inovasi untuk nilai kemanusiaan kita yang mulia.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

Depok, April 2024

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form