Ada pondok yang usianya sudah satu abad, tetap eksis dengan santrinya yang ribuan dan terus berkontribusi untuk Indonesia dengan berbagai prestasi dan dinamikanya. Sementara itu, ada ratusan pondok yang belum genap satu dasawarsa masih sibuk mencari ramuan yang pas agar masyarakat kenal, tertarik, dan menyekolahkan anak mereka ke situ. Berbagai strategi dan program unik dan berdiferensiasi direncanakan, dilaksanakan, dan ditawarkan agar program PPDB mereka sukses. Ada pula yang kurang percaya diri hanya dengan program, mereka sibuk membangun dan memoles gedung dan kompleks pondok agar kinclong dan menarik minat orang tua untuk segera memilih pondok tersebut sebagai sekolah anak mereka.
Ada yang sudah established, ada yang hampir finished. Ada
yang sudah di orbit, ada yang masih terbirit-birit. Persoalannya, apakah usia
pondok berbanding lurus dengan keberterimaan masyarakat dan kualitas yang terus
meningkat? Lalu, bagaimana halnya dengan pondok pemula yang masih sibuk mencari
bentuk dengan segala racikan antara idealisme, pengetahuan, dan jam terbang
yang belum seberapa? Sejatinya, seperti apa pencapaian mereka yang sudah established
itu di usia seperti pondok yang baru-baru itu? Apakah mereka juga mengalami apa
yang dialami para pondok pemula itu? Apa dan bagaimana strategi mereka untuk
bisa mencapai kedudukan seperti sekarang ini? Mari kita diskusi barang sedikit.
Karakteristik Budaya Pondok
Sejatinya, kita hanya bisa melihat pengejawantahan dari sistem budaya
yang dimiliki dan dipraktikkan sebuah pondok. Mereka yang bertahan puluhan
tahun dengan statistik dan pencapaian yang stabil atau bahkan meningkat sangat
pasti mengonfirmasi sebuah budaya organisasi yang efektif dan unggul. Apa dan
bagaimana dinamika budaya itu dipraktikkan di dalam struktur organisasi mereka
sama sekali misteri. Seperti apa gaya kepemimpinan yang telah memungkinkan
mereka berhasil memilih dari sekian banyak keputusan-keputusan strategis yang
relatif tepat untuk mereka, juga tetap misteri untuk kita. Atas fenomena itu,
kita hanya bisa memperkirakan seperti apa mesin organisasi pondok tersebut
bergerak, berputar, dan terus menghimpun energi yang nampaknya terus terbarukan
untuk pencapaian mereka selanjutnya.
Stephen P. Robbins (1990) menjelaskan, kebudayaan menyiratkan adanya
dimensi atau ciri-ciri tertentu yang berkaitan erat dan saling bergantung
antarelemen. Budaya adalah suatu “lingkungan” yang abstrak. Namun demikian, budaya
mempunyai dimensi yang dapat didefinisikan dan diukur. Untuk itu, Robbins
mengemukakan sepuluh karakteristik yang bila dipadupadankan akan menjadi inti
dari budaya organisasi sebuah pondok. Meskipun demikian, kita maklum bahwa budaya
setiap organisasi tidak sama. Ini adalah karakteristik utama yang membedakan
budaya tersebut.
Pertama, individual initiative. Apakah para guru di
pondok Anda jarang ambil inisiatif untuk bergerak? Apakah mereka cenderung
menunggu perintah untuk mau mulai bergerak? Bila begitu kondisinya, tolong
jangan cepat-cepat menyalahkan mereka. Siapa tahu selama ini narasi Anda
sebagai pimpinan terlalu dominan. Jangan-jangan selama ini semua narasi di
pondok adalah narasi Anda. Jangan-jangan lebih dari 80% keputusan strategis
hanya datang dari Anda meskipun mekanisme rapat tetap dijalankan? Siapa tahu
Anda sedang berpura-pura membutuhkan mereka, padahal sesungguhnya Anda hanya
percaya pada perasaan dan pikiran Anda sendiri. Bila demikian halnya, maka
inisiatif individu memang akan sangat sulit diharapkan, karena Anda terlalu
menguasai cara berpikir dan bertindak guru-guru Anda. Padahal, budaya
organisasi yang baik hanya akan terbentuk bila setiap civitas akademika memiliki
kebebasan dan kemandirian yang bertanggung jawab.
Kedua, risk tolerance. Guru yang bakat deliberative-nya
merah, agak sulit memenuhi hal ini, karena mereka kelompok yang terlalu banyak
pertimbangan. Justru sebaliknya, mereka yang berbakat activator (tidak
sabar untuk bertindak dan melompat dulu sebelum melihat) akan sangat senang di
bagian ini. Persoalannya, apakah selama ini para guru telah didorong untuk
menjadi pribadi yang agresif, inovatif, dan berani ambil risiko? Mari kita
tengok pondok kita, apakah mereka yang agresif mendapatkan tempat yang wajar,
atau justru sering disalahmengertikan? Bila setiap civitas akademika sudah
benar-benar memahami visi, misi, dan tata nilai organisasi pondok, maka ia akan
leluasa mengembangkan kreativitasnya. Ia siap bertanggung jawab atas semua
keputusan dan tindakan yang diambilnya karena ia sadar betul apa yang
diputuskan dan dilakukan masih dalam koridor yang sesuai dengan visi, misi, dan
tata nilai yang ada.
Selain itu, roadmap atau blueprint organisasi tentu
memberikan ruang yang cukup luas untuk berbagai kreativitas dan inovasi. Bila
ada guru Anda tidak kreatif karena takut salah, jangan-jangan ia belum memahami
visi, misi, dan tata nilai serta roadmap organisasi yang telah
disosialisasikan dan disepakati. Ketulusan dan kejujuran seorang aktor bukan
saja ketika ia berani mengambil risiko dari peran dalam skenario dan arahan
sustradara, tetapi juga dari semua improvisasi yang dipilihnya demi warna dan
keutuhan sebuah cerita. Jadi, Anda lebih senang orang yang sering minta izin
atau minta maaf?
Ketiga, direction. Setelah share of knowledges
dan share of values yang kemudian menjadi rumusan visi dan misi, maka
pimpinan dan tim harus segera menyosialisasikan blueprint atau roadmap.
Blueprint adalah rencana jangka panjang, menengah, dan pendek sebuah
organisasi. Pondok Anda sudah punya, bukan? Inilah peta mimpi dan pencapaian.
Lalu, roadmap seperti apa yang baik? Blueprint yang baik adalah
yang mempertimbangkan potensi dan peluang pondok. Ia tidak ada di ruang utopia,
tetapi ruang realistis yang membuat semua civitas akademika merasa dekat. Sama
dengan rumusan mimpi, tentu prinsip SMART (Specific, Measurable,
Achieveable, Realistic, dan Time-bound) juga berlaku
ketika kita merumuskan blueprint. Mengapa begitu? Agar semua civitas
akademika merasa dekat dengan tujuan
dan ekspektasi kinerja yang ingin diwujudkan. Tanpa blueprint, maka pondok
akan berjalan tanpa arah dan tanpa semangat. Ikut arus dan terombang-ambing di
antara berbagai keinginan dan mimpi tak terukur. Logika dan tafsir kebenaran
sesungguhnya merupakan puncak ekspresi keterbatasan. Mari kita berlindung dari
sisi buruk kekalahan, kemenangan, dan keputusan-keputusan masa lalu.
Keempat, integration. Pondok adalah sistem yang terdiri
atas sejumlah subsistem. Setiap subsistem punya sistem dan aturannya
sendiri-sendiri. Dalam konteks pembicaraan budaya, itulah gambaran konsep dominant
culture dan subcultures. Yang
pertama mengungkapkan nilai-nilai inti yang dianut oleh mayoritas civitas
akademika pondok. Inilah budaya pondok yang sedang kita bicarakan. Pandangan
makro inilah yang membentuk kepribadian yang berbeda pada sebuah pondok.
Sedangkan subculture cenderung berkembang dalam organisasi besar yang
menunjukkan masalah, situasi, atau pengalaman umum yang dihadapi anggotanya.
Subkultur ini ada yang vertikal dan horizontal. Yang vertikal terjadi bila satu
bagian memiliki budaya tersendiri yang berbeda dengan bagian lain; Sedangkan yang
horisontal terbentuk ketika posisi tertentu—seperti guru, musyrif, atau
humas—berbagi pemahaman bersama.
Sejatinya, pondok bukan hanya sebuah sistem, tetapi sebuah ekosistem.
Oleh karena itu, di dalamnya harus terbentuk sinergi dan kolaborasi
antarpribadi, bagian, dan divisi. Selain itu, sarana prasarana, sekolah,
asrama, dan lingkungan alam maupun sosial harus diarahkan agar semua
terintegrasi dengan indah menjadi sebuah wajah pondok yang nyaman dan pantas
untuk dipilih. Dengan kata lain, kita tidak bisa hanya mengandalkan guru atau
musyrif yang bagus kinerjanya, tetapi juga semua bagian yang ada—sarana prasarana,
tata usaha, dapur dan kantin, laundry, klinik, security, media, atau
lingkungan sekitar juga harus terkoordinasi dengan baik. Beruntunglah mereka
yang menyadari bahwa perjumpaan dan kebersamaan adalah sebuah keniscayaan. Sinergi
dan kolaborasi pun memberi warna dan nilai tambah.
Kelima, management support. Hubungan harmonis antara
dewan asatidz dengan manajemen harus terus ditingkatkan. Dukungan manajemen
harus nyata dalam proses menjalankan pondok. Coba kita cek pondok kita, apakah ketua
yayasan, mudir, direktur, kepala asrama, atau kepala sekolah telah berusaha
sekuat tenaga untuk mengembangkan suatu sistem koordinasi yang paling cocok
untuk pondok? Seperti apa mekanisme penyelesaian konflik vertikal maupun
horizontal yang diterapkan selama ini? Apakah manajemen berani menjamin bahwa
selama para guru tetap berada dalam koridor visi dan misi, maka semua
kreativitas dan gerak inovasi mereka aman dari intervensi pihak lain? Apakah
selama ini pihak manajemen atau yayasan telah berjuang sekuat tenaga agar support
mereka tidak hanya berupa motivasi verbal, tetapi juga dukungan nyata berupa
kebijakan yang berpihak? Apakah manajemen lebih takut kepada orang tua wali
santri daripada membela dan melindungi guru mereka sendiri? Bila sejumlah
pertanyaan ini mampu dijawab dengan lapang dada, maka masa depan pengelolaan
pondok mempunyai harapan besar.
Keenam, control. Sejatinya, tidak ada orang yang merasa
nyaman bila selalu diawasi dan diperhatikan. Sedikit orang yang senantiasa
berlapang dada atas sejumlah kritik, masukan, dan teguran, apalagi sampai
mendapatkan surat peringatan (SP). Meskipun demikian, bagian penjaminan mutu (QC)
pondok harus punya mekanisme supervisi dan evaluasi berkala yang konstruktif
dan bersahabat. Demikian pula guru,
asatidz, atau musryif harus menyediakan sejumlah keikhlasan dan kesadaran,
bahwa supervisi adalah mekanisme yang harus dijalankan untuk mendapatkan
informasi dan fakta akurat dalam rangka menjaga mutu. Sesungguhnya, supervisi
dan evaluasi adalah bentuk komitmen pondok kepada stakeholder untuk
senantiasa menghadirkan layanan cinta terbaik. Dengan demikian, sejumlah
peraturan dan ketentuan dalam rangka pengawasan mutu layanan harus dipandang
sebagai regulasi yang wajar dan manusiawi.
Ketujuh, identity. Menjadi anggota sebuah organisasi
itu punya konsekuensi logis: kebanggaan dan loyalitas. Rasa bangga sebagai
bagian dari sebuah pondok adalah pintu masuk tumbuhnya loyalitas. Bila rasa itu
tidak pernah hadir dalam hati, maka sulit rasanya kita menuntut loyalitas pada
seseorang. Lalu, apa yang membuat hadirnya rasa bangga dalam hati? Pertama,
memahami sejarah. Dari titik ini ia akan mengukur, apakah pondoknya sudah
bergerak maju atau justru jalan di tempat. Kedua, ada yang bisa
ia kontribusikan untuk pondok. Mereka yang yakin bisa memberikan sesuatu, pasti
akan bangga dengan itu. Ketiga, ia merasa dihargai dan diterima dengan
apa yang bisa dikontribusikan sesuai bidang keahliannya. Rasa diterima itu
penting. Ini wajar dan manusiawi. Diterima tidak sama dengan dimanfaatkan.
Tanpa respek yang tulus, maka rasa bangga hanya akan jadi omong kosong. Selamanya
ia akan tetap memandang dirinya sebagai the outsiders.
Kedelapan, reward system. Apa jenjang tertinggi yang bisa
dicapai bila seseorang barkarier sebagai guru atau musyrif di pondok Anda? Sistem
penghargaan seperti apa yang akan diterimanya selama ia mengabdi? Kesejahteraan
dalam bentuk apa saja yang bisa ia terima? Apa saja yang harus dipenuhi untuk
mendapatkan the best performance and the best reward selama ia
berkarier? Kesempatan pengembangan diri apa saja yang bisa ia dapatkan selama
mengabdi? Pondok atau yayasan harus punya jawaban dan penjelasan yang gamblang
dan clear tentang ini. Ini bukan soal hitung-hitungan, ketidakikhlasan,
atau ketidakinginan berjuang bersama. Ini mekanisme dasar yang wajar dan
manusiawi. Kejelasan dan keterusterangan di awal perjanjian kerja kuncinya.
Kita bisa saja membungkus semua itu dalam segenap idealisme yang sama-sama
disepakati sebagai pejuang. Pasti ada ruang idealisme dalam kerangka kerja
dakwah. Itu sah-sah saja. Yang jelas, dalam manajemen pondok masa kini, sistem
penghargaan pasti didasarkan pada sistem penilaian kinerja yang adil dan berkeadilan.
Kesembilan, conflict tolerance. Apakah pondok tempat Anda berkhidmat pernah mendorong
Anda untuk berani menyampaikan kritik? Kalau tidak, kira-kira apa sebabnya?
Kalau iya, apakah kesempatan itu sudah disambut dengan baik oleh civitas
akademika? Lalu, bagaimana suasana meeting, misalnya, ketika kritik itu
disampaikan? Apakah di pondok Anda memang terbiasa dengan diskusi untuk
mengambil sebuah keputusan strategis? Apakah Anda menoleransi
pemikiran-pemikiran kritis dalam tim kerja Anda? Atau Anda ingin yang adem
ayem, yes man, dan asal bapak senang? Semua itu pilihan. Jelas sangat
beda konsekuensi logisnya. Follower sejati dan setia itu mitra berpikir, bukan
pengangguk, yes man, dan tukang tepuk tangan belaka. Sementara itu,
pemimpin cerdas adalah yang mau dan mampu mengorkestrasi semua potensi tim yang
dipimpinnya. Dia tidak hanya senang dengan yang loyal dan penurut, tetapi juga
sangat akomodatif untuk mereka yang pemikir dan kritis. Oleh karena itu, fokus
dan loyallah pada ide, bukan figur. Itu akan membebaskan kita dari sikap “ABS”
dan memberi ruang respek untuk kehormatan. Organizational
culture yang unggul hadir bersama pemimpin yang sehat dan
sudah selesai dengan dirinya sehingga amanah, sidiq, tabliq, dan fathonah.
Kesepuluh, communication patterns. Bagaimana pola dan kualitas
komunikasi organisasi yang terbangun di pondok Anda? Satu arah. Dua arah. Atau
tidak beraturan? Apakah pola komunikasi yang dibangun selama ini sudah membuat
nyaman para civitas akademika? Jelas ini tugas dan tanggung jawab pimpinan.
Pimpinan egaliter akan sangat berbeda dengan yang sangat formal. Pemimpin yang
senang dipuji dengan segala unggah-ungguhnya akan sangat berbeda dengan yang
senang kelugasan dan kespontanitasan.
Budaya pondok sangat ditentukan oleh gaya komunikasi yang dibangun dalam
organisasi. Sebelum memperbaiki pola komunikasi organisasi, memang ada baiknya
menginsyafi gaya komunikasi yang dikembangkan pimpinan pondok. Oleh karena itu,
organisasi perlu mengelola rumor dan gosip dengan baik. Energi untuk itu bisa
lebih besar daripada yang dibutuhkan untuk menjadi pemenang. Jangan
pernah lupa, kita di panggung sekarang. Peran kita telanjang di hadapan
semesta. Yang bersembunyi di balik topeng, akan lelah di tengah perjalanan.
Yang berdusta demi reputasi, akan tenggelam digulung sejarah kebohongan.
Proses Berbudaya
Pondok yang masih mencari bentuk budaya harus tetap optimis dan
realistis. Mereka bisa saja belajar dari para senior di dunia pesantren atau boarding
school tanpa kecanggungan yang mengganggu. Proses belajar itu pun merupakan
bagian dari proses pengenalan potensi organisasi dan lingkungan yang harus
tetap berlangsung. Pondok yang terlalu banyak menjejalkan dirinya dengan
berbagai konsep (setiap yang datang dari owner selalu dianggap baik dan bagus)
suatu saat akan kelelahan dan tersesat di belantara konsep yang jauh dari bumi.
Yang keren belum tentu cocok. Yang cocok insya Allah keren.
Pondok yang budayanya sudah established akan selalu mendapatkan
tantangan agar performance budaya mereka tetap dan stabil dengan segala
dinamikanya. Oleh karena itu, sosialisasi budaya itu tetap berlangsung terus
menerus kepada semua civitas akademika, apalagi yang baru bergabung. Proses
induksi kepada guru atau musyrif yang baru bergabung adalah satu program yang
harus ditangani dengan sangat serius karena dari situlah titik berangkat
mereka. Barangkali memang ada baiknya mekanisme penerimaan guru atau musyrif
tidak terlalu mudah. Jangan pula pada akhirnya kita sadar, bahwa seleksi kita
atas calon guru atau calon musyrif sejatinya hanya formalitas belaka. Ini
berisiko. Sayang sekali bila pada akhirnya tumbuh perasaan Easy Come Easy Go
di
hati para guru, musyrif, dan dewan asatidz.
Robbins (1990) memaparkan bagaimana para guru belajar budaya. Pertama,
stories. Paparan seperti ini beredar di banyak organisasi. Cerita itu berisi
narasi tentang sejarah pendiri organisasi, keputusan penting yang mempengaruhi
arah masa depan organisasi, dan manajemen puncak saat ini. Pihak manajemen juga
dapat mengaitkan masa kini dengan masa lalu dan memberikan penjelasan serta
legitimasi atas praktik-praktik yang ada saat ini. Ini fase yang sangat
penting. Di titik inilah sesungguhnya kita bisa memprediksi, apakah guru atau
musyrif baru tersebut akan loyal atau tidak. Narasi ini sangat penting untuk
para guru atau musyrif yang baru bergabung.
Kedua, rituals. Acara yang berulang yang disebut
ritual ini merupakan sarana untuk mengokohkan budaya pondok. Kegiatan mingguan,
bulanan, atau tahunan apa di pondok Anda yang sangat efektif untuk tujuan ini?
Seberapa penting pihak pondok memandang dan menyelenggarakan acara tersebut?
Apakah para asatidz antusias dengan itu atau merasa sebagai sesuatu yang biasa
saja, atau bahkan membosankan? Sesungguhnya, ritual seperti itulah yang mengekspresikan dan memperkuat nilai-nilai
utama organisasi, meneguhkan kembali tujuan organisasi, memberi porsi yang pas
untuk mereka yang penting dalam organisasi, dan apa saja yang sudah waktunya
diregenerasikan dalam kemasan yang up to date.
Ketiga, material symbols. Para guru, musyrif, dan
tenaga pendidik lain belajar dari simbol-simbol yang dapat mereka temui di
pondok yang menguatkan budaya pondok. Desain dan tata letak kompleks pondok, furniture,
fasilitas eksekutif, gedung serba guna, atau seragam pondok adalah
simbol-simbol yang dapat menginformasikan kepada para guru, musyrif, atau
tenaga pendidik lain tentang apa dan siapa yang penting di pondok, tingkat
egalitarianisme yang diinginkan oleh pimpinan manajemen, dan jenis perilaku
yang sesuai dengan prinsip-prinsip pondok.
Keempat, language. Banyak pondok menggunakan kekuatan
bahasa, idiom, atau diksi tertentu sebagai cara untuk mengidentifikasi
anggotanya. Dengan mempelajari pola tutur seperti yang telah disepakati, para
guru, musyrif, dan tenaga kependidikan membuktikan penerimaan mereka terhadap
budaya pondok dan pada saat yang sama akan membantu melestarikannya. Oleh
karena itu, sejumlah ungkapan yang biasa digunakan oleh para civitas akademika
sebuah pondok menunjukkan ciri-ciri budaya pondok tersebut. Bahasa menunjukkan
bangsa.
Mereka yang telah menjalani puluhan tahun di sebuah pondok pasti
merasakan tidak ada lagi yang aneh dan baru di situ. Semua sudah dialaminya.
Semuanya sudah membiasa. Pada titik ini sesungguhnya pondok memerlukan
penyegaran agar tetap tumbuh kesadaran dan kecintaannya pada pondok. Mereka
yang telah melewati berbagai hal di pondok adalah agen pengokoh dan perubah budaya yang sangat potensial.
Mereka yang baru saja mulai membentuk pondok justru sebaliknya. Semuanya
amazing dan menakjubkan, apalagi ada kesempatan untuk belajar dari para
seniornya. Mereka memang masih sibuk merumuskan ramuan yang paling tepat
sebagai dasar penting budaya pondok yang ingin mereka bentuk. Untuk itulah
mereka sedang berinvestasi di berbagai hal: waktu, tenaga, ilmu, dan dana
untuk mencapai kesepakatan bersama: wajah pondok yang seperti apa yang
benar-benar mereka inginkan. Saat ini, mereka sedang berusaha mendiskusikan
sesuatu yang hasil dan kesimpulannya, mau dan mampu mereka laksanakan. Mereka
berhati-hati dan berhitung, jangan sampai waktu, energi, dan ide-ide besar
menguap percuma. Oleh karena itu, mari kita saling menguatkan hati untuk terus
bergerak dan bersabar dalam barisan. Yang tidak perlu didiskusikan, mari terima
dengan kebesaran jiwa dan keberanian.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Depok, April 2024
Daftar Pustaka
Robbins,
Stephen P. Organization Theory. Structure,
Design, and Aplications.
New Jersey: Prentice-Hall,
Inc. 1990.
MaSyaaAllah.. terimakasih ust telah menginspirasi, akhirnya kita merasa semakin butuh wawasan terus menerus.
ReplyDeleteAfwan, Ustadz. Semoga setiap pengalaman kita bisa menjadi inspirasi yang baik bila kita mau dan sempatkan menulisnya. Syukron, Ustadz...
DeleteDengan membacanya, seakan dahaga haus bertahun-tahun telah telah terjawabkan.
ReplyDeleteMasya ALlah. Semoga bisa menjadi salah satu sarana silaturahim dan bermanfaat, Ustadz. Jazakallah khairan katsira.
Delete