Rapormu Potret Prosesmu

    Apa yang Anda ingat perihal pembagian rapor ketika sekolah dulu? Seperti apa suasananya? Apakah ada tradisi membawa makanan dan minuman sebagai ungkapan kegembiraan? Adakah perasaan deg-degan ketika akan menerima rapor? Mengapa deg-degan? Takut tidak naik kelas? Takut tidak dapat peringkat? Takut dimarahi orang tua karena nilai Anda turun? Kalau ternyata Anda dapat juara kelas, apakah Anda dapat hadiah? Lalu, apa makna juara untuk Anda saat itu?

Mari kita berbagi cerita tentang pembagian rapor. Berbagai makna perihal rapor pernah ada dalam kehidupan kita. Mari kita potret juga seperti apa fenomena itu hari ini. Masihkah ada rasa dan suasana seperti apa yang pernah Anda rasakan dulu dengan apa yang hari ini dirasakan oleh anak atau cucu Anda? Benarkah ada perasaan yang sama ketika dulu Anda menerima rapor dengan hari ini Anda menerima rapor anak Anda? Bagaimana sesungguhnya rasa dan suasana membangun kegembiraan, optimisme, dan kebanggaan dalam hati setiap murid yang menerima catatan hasil belajarnya selama satu semester?

Rapor Sebagai Entitas

Rapor adalah sebuah buku yang berisi nilai kepandaian dan prestasi belajar murid di sekolah dalam satu periode yang berfungsi sebagai laporan guru kepada orang tua wali murid. Satu semester, misalnya. Sebagai sebuah catatan, tentu rapor adalah satu media untuk meng-capture kegigihan dan kesabaran seorang santri dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan pondok dengan segala dinamikanya. Tetapi jelas, rapor pasti tidak mampu merekam semua pencapaian seorang santri dengan detil dan mendalam karena pada akhirnya format rapor mengharuskan para guru untuk mengonversi berbagai pencapaian dalam bentuk kuantitatif. Mari kita diskusi barang sejenak.

Pertama, potret pencapaian dan prestasi seorang santri. Setiap santri punya satu buku rapor. Sejatinya, tidak ada yang boleh menuliskan apa pun di situ kecuali pencapaian sang santri sendiri. Pencapaian itu sebuah titik perhentian terbaik dari sebuah proses. Mereka yang mampu berproses dengan baik, maka akan punya catatan yang baik pula. Oleh karena itu, dalam konteks ini, walikelas pun hanya menuliskan apa yang menjadi pencapaian setiap murid berdasarkan apa yang disampaikan oleh para guru bidang studi. Dengan demikian, walikelas tidak punya pretensi apa-apa untuk mengubahnya, baik menambah atau mengurangi. Rapor adalah wajah sebuah proses. Jadi, bila seorang murid ingin memiliki rapor yang bagus, maka ia harus berusaha sekuat tenaga agar proses dan pencapaiannya ada di level yang memungkin untuk itu.

Kedua, konversi kuantitatif atas segala pencapaian kualitatif. Ada satu hal menarik tentang rapor sejak hampir dua dekade ini, yaitu rapor tidak lagi hanya menyampaikan nilai atau score kuantitatif, tetapi sudah berupaya menarasikan berbagai pencapaian kualitatif setiap murid. Pencapaian nilai murid tidak lagi hanya berupa angka tetapi juga narasi sebagai penjelasan atas capaian tersebut. Oleh karena itu, di titik ini, guru dituntut memiliki catatan lengkap atas proses yang telah dijalani oleh setiap murid sehingga narasi yang disampaikannya hidup dan mewakili. Dengan demikian, seorang guru harus punya keterampilan naratif yang memadai agar orang tua wali santri yang membaca paparannya menangkap pesan yang disampaikannya.

Bahasa yang tidak baik pasti tidak akan menginformasikan apa-apa dan hanya membuat orang tua wali santri bingung dengan paparan yang tidak ketahuan ujung pangkalnya. Meskipun demikian, guru atau sekolah juga tidak boleh hanya copy paste setiap penjelasan per-item score tersebut dari satu guru ke guru yang lain atas pencapaian setiap murid. Mengapa? Bila itu terjadi, maka narasi itu tidak ada ruhnya dan kehilangan wibawanya, maka orang tua wali murid pun tidak akan berminat membacanya. Padahal, narasi itu dimaksudkan sebagai gambaran yang komprehensif atas pencapaian seorang murid pada setiap mata pelajaran yang ditulis dengan gaya khas walikelas tersebut. Itu pasti mengena. Itu pasti diperhatikan dan dikenang karena bukan sekadar formalitas apalagi basa-basi belaka.

Ketiga, media komunikasi yang compact dan komprehensif antara pihak sekolah dalam hal ini diwakili oleh walikelas kepada orang tua wali santri. Di sejumlah besar sekolah, proses pembagian rapor adalah pertemuan special dan menarik. Umumnya kedua orang tua wali santri akan datang menghadap walikelas untuk menerima rapor putra-putrinya. Sebelum rapor diterima, tentu walikelas akan memberikan pandangan umum terhadap pencapaian semua murid di kelas tersebut. Ketika giliran mereka membagikan satu persatu rapor tersebut kepada para orang tua wali santri, mereka punya waktu cukup leluasa untuk melaporkan lebih komprehensif perihal perkembangan setiap santri. Mereka kabarkan keunggulan dan keterbatasannya. Mereka sampaikan peluang dan kesempatannya. Dengan demikian, maka orang tua wali santri akan mendapatkan gambaran kurang lebih seperti apa anak mereka berproses selama ini di pondok. Rapor bukan potret sempurna untuk seluruh dinamika sebuah proses, tetapi paling tidak apa yang menjadi kecenderungan utama setiap santri akan tergambar di rapor. Dengan demikian, orang tua sangat berkepentingan memperhatikan detil setiap penjelasan walikelas, score, dan paparan naratif yang ada di rapor.  

Keempat, nilai kehadiran sebuah rapor telah tereduksi. Dulu, pembagian rapor menjadi satu momen sangat penting dan genting untuk seorang murid. Tetapi hari ini, rapor nampaknya kehilangan kewibawaannya. Mengapa? Kalau dulu, penerimaan rapor menjadi sangat Istimewa karena menentukan naik atau tinggal kelasnya seorang santri. Sekarang, nampaknya jarang sekali ada cerita tentang tinggal kelas kalau tidak ada satu peristiwa luar biasa. Sebagaimana dengan pembagian rapor yang sudah tidak lagi Istimewa, maka demikian pula kabar yang menyertainya. Naik kelas menjadi sangat lumrah, termasuk lulus dari satu jenjang. Itu karena tidak ada lagi satu proses yang selama ini menjadi sebab mengapa rapor begitu ditunggu. Apa itu? Evaluasi Belajar Tingkat Nasional (Ebtanas) atau Ujian Nasional (UN). Sejak dua evaluasi itu ditiadakan di tahap terakhir SD, SMP, dan SMA, maka rapor semakin kehilangan daya magisnya.

                                        Pembagian Rapor sebagai Peristiwa

Pembagian rapor telah menjadi agenda tetap dalam dunia pendidikan kita. Pada umumnya, pembagian rapor, mensyaratkan kehadiran orang tua wali murid. Oleh karena itu, pembagian rapor sebagai sebuah peristiwa edukatif menjadi sangat menarik dari berbagai sudut pandang. Bertemunya orang tua wali murid, murid sebagai subjek belajar, dan walikelas sebagai pemegang amanah pendidikan dalam sebuah konteks menjadikan peristiwa pembagian atau pengambilan rapor menjadi sebuah peristiwa edukatif yang sangat menarik dalam budaya sebuah sekolah. Oleh karena itu, mari kita lebih memaknainya lagi.

Pertama, pembagian rapor menjadi sarana silaturahim yang cukup efektif. Inilah salah satu momentum yang dapat menjadi magnet orang tua wali murid untuk hadir, termasuk yang tinggal di luar pulau untuk mereka yang mondok. Umumnya, pondok sudah menyiapkan acara agar pertemuan yang jarang terjadi itu dapat dioptimalkan sebagai sarana komunikasi yang konstruktif untuk saling mengenal dan membangun sinergi serta kolaborasi. Program yang sudah disiapkan di antaranya berupa seminar parenting, dauroh Al-Qurán, atau sosialisasi pengembangan pondok. Dengan kesadaran bahwa mereka tidak selalu punya kesempatan untuk bertemu, maka kesempatan tersebut pada umumnya dimanfaatkan betul oleh kedua belah pihak untuk memaksimalkan kualitas program. Momentum pembagian rapor menjadi sangat spesial dan Istimewa.  

Kedua, sejak lama sejumlah sekolah tidak lagi membuat dan mengumumkan peringkat nilai para muridnya. Berbagai alasan diambil untuk itu: agar tercipta suatu situasi belajar yang kondusif, tidak ingin terpaku pada pencapaian score semata, dan tujuan pendidikan bukan untuk kompetisi tetapi untuk saling sinergi dan kolaborasi. Semua itu tentu benar dan sangat baik. Tetapi, ada tujuan jangka pendek yang membuat sekolah dan pondok kembali menerapkan peringkat antarsiswa dan mengumumkannya pada saat pembagian rapor. Apa itu? Prasyarat untuk dapat mengikuti program Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP), sebuah jalur penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi negeri melalui jalur prestasi. Murid yang berhak mengikuti program ini adalah mereka yang eligible, yaitu yang rata-rata nilai semua mata pelajaran semester 1-5 masuk peringkat 40 persen terbaik untuk sekolah berakreditasi A, 25 persen untuk akreditasi B, dan 5 persen untuk akreditasi C. Oleh karena itu, SMA yang ingin mendaftarkan para muridnya ke jalur SNBP memberlakukan kembali pemeringkatan nilai rapor. Penerimaan rapor pun menjadi sangat spesial karena semua murid berharap bisa menjadi siswa eligible.

Ketiga, kesempatan bagi sekolah atau pondok untuk mengingatkan kembali para orangtua wali santri tentang sejumlah komitmen untuk sama-sama memajukan pondok. Untuk itu, sekolah telah menyiapkan sejumlah data agar mereka yang masih menunggak SPP, misalnya, mendapatkan informasi akurat dan lengkap tentang itu sehingga tergugah untuk segera melunasinya. Selain itu, inilah kesempatan untuk menyosialisasi berbagai program yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Dengan demikian, penerimaan rapor dapat menjadi salah satu kesempatan terbaik untuk dapat berinteraksi langsung dengan sejumlah orang tua yang selama ini sulit sekali untuk bisa hadir. Jadi, pondok dapat menyiapkan berbagai data agar apa yang disampaikan ke orang tua wali murid adalah data yang valid dan dapat dipercaya.

Romantisme penerimaan rapor untuk sejumlah keluarga nampaknya begitu membekas. Para orang tua akan bertemu dengan berbagai tipe guru yang bertugas sebagai walikelas. Pola relasi dan komunikasi efektif antara orang tua wali santri dengan pihak pondok sebaiknya terus ditingkatkan. Untuk itulah, seorang walikelas harus memiliki communicative competence yang baik dan mumpuni agar komunikasi yang mereka jalin dengan para orang tua wali santri dapat berlangsung optimal sehingga berbagai program sekolah pun dapat dengan mudah tersosialisasikan kepada semua orang tua wali santri. Tidak ada pondok atau sekolah yang dapat berjalan progresif tanpa bersinergi dan berkolaborasi dengan para orang tua wali santri. Pondok bukan tempat penitipan anak, tetapi ruang dialektika antara orang tua wali santri sebagai pemegang amanah Allah dengan pihak pondok sebagai penyelenggara jasa pendidikan yang terpercaya dan unggul. Semoga rapor putra-putri kita semester ini kembali mampu mengabarkan bagaimana cara mereka belajar sehingga dapat membuat kita tersenyum bangga dan haru atas pencapaian mereka selama ini.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

Depok, Juni 2024

 

 

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form