Kapan terakhir Anda mengunjungi sebuah galeri? Anda lebih senang mengunjungi pameran lukisan, patung, fotografi, craft, atau seni grafis? Apa yang mendorong Anda datang ke sana? Siapa seniman favorit Anda? Bersama siapa biasanya Anda ke sana? Berapa lama biasanya Anda dapat menghabiskan waktu di galeri tersebut? Apa saja yang Anda lakukan di sana? Apakah Anda menggali informasi dan berdiskusi dengan kuratornya? Atau sekadar membunuh waktu luang dan berfoto-foto bersama keluarga? Apakah biasanya Anda berminat membeli karya seni yang dipamerkan? Perasaan apa yang biasanya menyertai langkah pulang Anda?
Tentu sejumlah
pertanyaan menarik di atas akan selalu menantang kita sebagai penikmat atau
pemerhati seni. Atas dasar apa kita bisa mencintai sebuah karya seni? Jangan-jangan,
kita bukanlah tipe orang yang bisa menikmati sajian seni apalagi menjadi
pemerhati. Jangan-jangan, kita ke sana hanya life style. Sejujurnya,
kita tidak punya kesadaran untuk memasuki wilayah seni sebagai cara memaknai hidup.
Tetapi, siapa pun kita, kita tetap berhak hadir di sana karena memang galeri
tidak didirikan hanya untuk seniman, budayawan, atau mereka yang mengerti
tentang seni.
Lalu, mengapa tiba-tiba
kita membahas tentang galeri, pameran, karya seni, dan gaya hidup? Galeri saya
pilih sebagai pintu masuk untuk mendiskusikan fenomena besarnya minat kelas
menengah Islam perkotaan untuk menyekolahkan putra-putrinya ke pondok atau boarding
school dalam 15 tahun terakhir. Meskipun tidak persis benar, semoga analogi
ini mampu menawarkan perspektif lain untuk mengartikulasikan fenomena yang ada
seputar pondok. Mari kita diskusi.
Tiga
Pengunjung Galeri
Bila kita ke galeri
untuk melihat sebuah pameran, maka kita akan bertemu dengan sejumlah tipe
pengunjung. Mereka tidak dapat disalahkan karena galeri adalah public space
yang memungkinkan semua orang dengan pelbagai kepentingan untuk hadir. Hanya
saja, kehadiran mereka berbeda secara hakikat.
Pertama,
galeri adalah ruang publik, sama seperti pondok. Siapa pun yang berkepentingan—dengan
derajatnya masing-masing—boleh datang dan mendaftarkan putra-putrinya. Ada satu
tipe pengunjung galeri yang cukup unik. Mereka datang biasanya berkelompok,
minimal berdua. Apa yang mereka lakukan di ruang pamer? Mereka sibuk mencari spot-spot
yang instagramable dengan pencahayaan dan tata letak lukisan atau objek
pamer tertentu. Lalu, asyiklah mereka jeprat-jepret berkali-kali dan
berganti-gantian yang membuat pengunjung lain harus mengalah, mungkin juga risih
dan kurang nyaman serta agak terganggu. Ketika sejumlah pengunjung sedang
berbincang-bincang soal media dan jenis cat yang dipakai untuk lukisan, mereka
justru sibuk menyetel platform video musik agar pas dengan gambar yang
mereka ambil.
Adakah orang tua wali
santri dengan tipe pengunjung galeri seperti ini? Nampaknya (masih) ada. Mereka
menyekolahkan anak hanya tertarik lokasi dan fasilitas indah dan wah sehingga
instagramable. Mereka tidak terlalu tertarik memperhatikan aspek
kurikulum dan program-program yang ditawarkan. Mereka terima jadi. Karena sesungguhnya
mereka hanya “menitipkan” anak di pondok yang mereka tahu high class, fasilitasnya
bagus, lokasi sekolahnya indah dan sejuk, ekskulnya bergengsi, field trip-nya
ke mancanegara, dan yang bersekolah di situ umumnya orang kaya. Jangan-jangan, sebagian
besar dari mereka menyekolahkan anak di situ semata-mata karena gengsi dan
kurang memahami—mungkin juga tidak terlalu peduli—visi misi sekolah, muatan kurikulum,
program, daily activity, dan sejumlah program pembinaan kesiswaan.
Kedua,
mereka yang nampak pura-pura minat. Gayanya selangit, deh. Beralih dari satu
sudut pamer ke sudut yang lain; Berpindah dari satu lukisan ke lukisan lain
dengan gaya yang oke punya. Pengunjung tipe ada dua kelompok: mereka
yang memang sangat mengenal dunia seni atau yang pura-pura mengerti. Yang repot
adalah yang kedua. Mereka kelompok seolah-olah, tetapi enggan membaca deskripsi
yang ditempel di dekat lukisan, tidak memperhatikan dan menyimak penjelasan
kurator, serta asyik sendiri dengan persepsi dan penilaian mereka.
Anda pernah bertemu tipe
orang tua wali murid yang seperti ini? Ketika diberikan informasi dan
penjelasan, mereka mengangguk-angguk seperti mengerti. Tetapi, ketika pondok
mengirimkan surat untuk mem-follow-up hasil meeting tersebut,
mereka protes dan merasa belum diajak bicara serta mempertanyakan kebijakan dan
program tersebut. Tentang kurikulum pun demikian. Tidak sedikit yang
manggut-manggut dan senyam-senyum ketika mendengarkan sosialisasi dari pihak
pondok, pada gilirannya justru banyak protes di belakang. Mereka memang
kelompok seolah-olah.
Ketiga,
inilah tipe pengunjung dan orang tua wali santri yang dirindukan: antusias, aktif
bertanya, aktif diskusi dengan para asatidz dan pimpinan pondok tentang visi
misi, kebijakan, kurikulum, program, dan berbagai rencana inovatif lainnya. Mereka
pada umumnya orang yang mengerti, bahwa lukisan sebagai sebuah karya seni
adalah hasil dari sebuah proses kreatif yang unik dan panjang. Demikian pula pendidikan
di pondok. Oleh karena itulah, mereka sangat welcome bila pondok ingin
melibatkan mereka dalam proses pembinaan karakter dan wawasan para santri.
Mendapatkan tipe orang
tua wali santri yang seperti ini adalah sebuah keberkahan tersendiri untuk pondok.
Untuk itu, pihak pondok harus responsif dan terus memelihara hubungan baik
dengan mereka karena pada umumnya mereka senang bila ikut dilibatkan dalam
sejumlah aktivitas. Me-maintance hubungan dengan mereka adalah pekerjaan
rumah yang besar. Bila pondok tidak mampu mengoptimalkan peran aktif mereka, itu
pasti sebuah kecerobohan dan kerugian karena pondok kehilangan kesempatan untuk
bersinergi dan berkolaborasi dengan para stakeholder utamanya.
Galeri
sebagai Simbol
Galeri yang memamerkan
lukisan umumnya akan menyajikan gambaran masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Biasanya, lukisan tentang masa lalu, apalagi yang kelam, akan didominasi oleh
warna suram cenderung gelap. Menggambarkan tone perasaan yang melukis
untuk mengajak yang menikmatinya untuk masuk dalam suasana kesuraman tersebut.
Bila suasana kesuraman itu bersekutu dengan nuasa ketidakadilan, maka akan kita
saksikan lukisan yang tidak hanya menarik untuk dilihat, tetapi juga
menggetarkan hati nurani. Wajah-wajah yang dilukisan itu pun wajah-wajah mereka
yang kalah, ingin melawan, dan ketidakberdayaan. Sorot mata mereka pun
mengabarkan ketidakikhlasan. Berbeda dengan tema masa depan yang ceria dan
cemerlang. Lukisan akan penuh dengan warna-warna indah dan mata akan senang dan
teduh untuk berlama-lama menatapnya.
Itulah galeri sebagai
simbol. Tentang ini, mari kita diskusi. Pertama, sebuah lukisan
atau karya seni pada umumnya adalah sebuah ungkapan rasa yang mendalam. Sebuah proses
kreatif yang merupakan proses penciptaan sebuah karya seni tetap menjadi
misteri untuk bisa diartikulasikan dengan gamblang. Yang jelas, sebuah karya
seni pada umumnya adalah ekspresi kegelisahan sang seniman yang diartikulasikan
dengan sepenuh keakuan dan jiwa. Oleh karena itu, ada relasi yang sangat kuat
antara sosok sang seniman dengan karya ciptaannya. Bila ia sebuah lukisan, maka
ekspresi keakuan itu dapat ditelusuri melalui pilihan media, warna dan jenis
cat, komposisi, tarikan garis, dan konsep dalam gaya visualnya.
Mendirikan sebuah pondok
pun seperti itu: sepenuh hati. Jangan asal jadi. Jangan asal jalan. Konsep visi
misi, desain kurikulum, program pembinaan santri, kapasitas dan komposisi sdm,
pilihan tempat, model manajemen, gaya kepemimpinan, gaya bangunan, tata letak
dan komposisi kampus, sumber pendapatan, dan blue print-nya harus
dipikirkan dengan matang. Mengapa begitu? Ibarat sebuah lukisan yang akan dipamerkan
di sebuah galeri, maka sang seniman pasti sudah yakin betul bahwa karyanya
layak dinikmati, dikritisi, dan diapresiasi oleh masyarakat (seni).
Namun, sebuah lukisan
pasti mewakili gaya dan idealisme seni yang dianut pelukisnya: ada yang representatif
(naturalis, realis, dan romantis), deformatif (impresionis, surealis, kubis,
dan ekspresionis) dan nonrepresentative (abstrak ekspresionis dan formalis). Demikian
pula sebuah pondok. Pendirian, proses pembelajaran, dan pengembangannya sangat
bergantung pada konsep dan prinsip pendidikan yang dianut oleh pendiri dan manajemennya.
Layaknya sebuah pameran lukisan, orang bebas memilih mau menikmati lukisan dari
seniman aliran mana. Tidak ada yang salah. Semua bergantung selera seni
masing-masing. Nah, memilih pondok pun begitu. Yang penting, calon orang tua
wali santri yakin bahwa konsep pendidikan yang diyakininya berkesesuaian dengan
konsep yang dikembangkan pondok yang dipilih. Mengapa hal itu penting? Agar tidak
bertepuk sebelah tangan dan tak ada dusta di antara mereka.
Kedua,
masih ingat John Keating, seorang guru bahasa Inggris di Akademi Walton—sekolah
berasrama khusus laki-laki di Amerika—dalam film Dead Poets Society? Pada
pertemuan pertama, ia mengajak para muridnya mengunjungi “galeri” sekolah di depan
kelas mereka. Di sana terpampang sejumlah foto alumni Walton dengan segala
prestasi dan pencapaiannya. Salah satu yang membuat mereka mampu seperti itu adalah
mantra "carpe diem" (manfaatkan hari ini). Dengan mantra
itulah, Keating mengajak para muridnya berani merebut kesempatan dan berpikir bebas
agar punya sudut pandang yang beragam.
Apakah di pondok Anda ada galeri? Ketika berkunjung ke beberapa pondok, di ruang tamu biasa terpampang sejumlah piala yang telah mereka raih selama ini. Sayangnya, piala itu tidak mampu bercerita. Mengapa? Karena tidak ada foto mereka yang meraihnya dan cerita tentang event dan perjuangan mereka, sehingga para santri baru kehilangan obor untuk mengenal para senior mereka yang keren-keren itu. Sejatinya, informasi tentang itu harusnya bisa dijumpai di buku-buku dan film dokumenter yang ditulis dan dibuat oleh para pelaku sejarah agar santri baru mengenal sejarah pondok, pendiri dan perintis, nilai dan budaya, selain itu best practices dan tacid knowledge yang pernah ada pun dapat terlacak dengan baik.
Ketiga,
seperti halnya sebuah pameran lukisan, sebaiknya setiap tahun pondok punya tema
pencapaian sebagai target. Road map itu harus hidup sebagai energi yang
dahsyat di hati semua civitas akademika sehingga mereka siap bersinergi dan
berkolaborasi untuk mewujudkannya. Bila road map hanya ada di kepala
mudir dan kalau pun terartikulasikan seperti tak berenergi dan bertaji, maka
sesungguhnya ada “rasa batin” di antara para civitas akademika yang belum
tersambung. Mereka masih nafsi-nafsi: tidak terpanggil dan merasa berkewajiban untuk
mewujudkan tema dan road map tersebut. Bila itu yang terjadi, mari cari tahu mengapa
artikulasi tema itu tidak menggetarkan hati mereka seperti carpe diem-nya
John Keating? Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
Di pameran lukisan
dengan satu tema, para pelukis punya caranya sendiri-sendiri untuk
mengekspresikan energi seni mereka. Itu artinya, untuk mewujudkan tema pondok,
sebaiknya setiap civitas akademika diberikan ruang ekspresi agar mereka sukses sesuai
dengan potensi dan kapasitas mereka masing-masing. Di sinilah pentingnya para
mudir memiliki kecerdasan untuk mampu mengorkestrasi berbagai potensi para
asatidznya agar menjadi energi dan kekuatan yang nyata. Data tentang bakat,
potensi, dan kecenderungan nilai para asatidz mutlak harus dimiliki seorang
mudir. Ini bukan ranah retorika, tetapi berbasis data. Bukankah sukses sebuah
pondok adalah akumulasi sukses para asatidznya?
Inilah sebuah catatan. Titik
berangkat kita dari galeri dan bermuara di “galeri” pondok kita
masing-masing. Bisa jadi kita hebat hari ini, tantangannya bagaimana kehebatan
itu terwarisi dengan baik kepada generasi terjauh dari kita. Keikhlasan para
asatidz lewat sentuhannya dalam mengajar, mendidik, dan membersamai para santri
adalah ekspresi keindahan yang layak diapresiasi layaknya sebuah lukisan
terindah di sebuah galeri. Lalu, yang mana ekspresi keikhlasan yang terindah
itu? Semua berpulang pada nilai-nilai yang telah ditetapkan sebagai a set of
knowledge dan a set of value pondok kita masing-masing. Selamat mengapresiasi
ekspresi keikhlasan para asatidz, Sahabatku!
Wallahu
a'lam bishawab
Depok, Juli 2024