Pola Kepemimpinan Pondok

            Selepas sholat Jumát pekan lalu, kami duduk kumpul di serambi selatan Masjid. Seperti biasa, kami menikmati sajian air kelapa muda yang disiapkan salah seorang pengurus DKM. Kali ini, ustadz yang tadi jadi khatib ikut nimbrung menikmati sajian segar di siang itu. Di tengah perbincangan santai itu, beliau bercerita bahwa di dekat rumahnya ada sebuah pesantren tutup karena pemiliknya meninggal, padahal asetnya cukup lumayan: ada tiga unit bangunan dengan masing-masing berlantai tiga.

“Memang beliau tidak punya anak, Ustadz?” Tanya saya.

“Ada, tetapi masih kecil-kecil. Istri dan keluarganya juga nampaknya tidak mengerti bagaimana mengembangkan sebuah pesantren.”

“Sayang sekali, ya…”

“Memang…padahal banyak wakaf dan infaq orang di situ. Kasihan kalau tidak dimanfaatkan lagi.”

Sambil berjalan pulang, saya masih terngiang-ngiang percakapan dengan ustadz tadi. Sesampainya di rumah, saya langsung mencari sejumlah artikel dan referensi yang membicarakan soal kepemimpinan pesantren. Akhirnya, saya bertemu satu topik cukup relevan di salah satu sumber lawas, yaitu majalah kajian ekonomi dan sosial yang bergengsi di zamannya, Prisma 4, April-Mei 1997: “Kepemimpinan dan Struktur Kekuasaan Kyai: Studi Kasus Pondok Pesantren Darul ‘Ulum Jombang” yang ditulis oleh Sukamto.

Sejumlah Cermin

Apa yang ditulis Sukamto tentang gaya kepemimpinan di Pondok Pesantren Darul 'Ulum Jombang nampaknya sangat menarik untuk kita simak. Bukan saja sebagai informasi penting perihal pola kepemimpinan pondok pada dekade terdahulu, tetapi juga sebagai cermin buat kita apakah hari ini kita adalah pelaku dengan salah satu fenomena kepemimpinan yang ditulis 27 tahun lalu itu? Atau diam-diam, kita ingin menyembunyikan wajah kita di bawah bantal ketika ternyata tanpa disadari, kita tak jauh berbeda dengan mereka yang digambarkan Sukamto lewat hasil penelitiannya. Mari kita baca dengan saksama apa yang dikemukakan Sukamto.

Pertama, pemimpin kharismatik. Pesantren Darul ‘Ulum periode pertama (1937-1958) dipimpin oleh Kyai Romli Tamim. Kharisma beliau sangat terasa di semua aspek kehidupan santri. Beliau memimpin pondok sekaligus menjadi mursyid ribuan jama’ah tarekat Qodariyah Naqsabandiyah. Mursyid adalah sebuah istilah di kalangan jamaáh tarekat yang hanya disandang oleh seorang guru tarekat. 

Peride berikutnya (1958-1985) adalah masa kepemimpinan Kyai Musta’in Romli. Dia merangkap tiga kepemimpinan: pemimpin pondok, mursyid tarekat, dan rektor Universitas Darul ‘Ulum. Dua jabatan pertama adalah warisan dari ayahnya, Kyai Romli Tamim, sedangkan jabatan rektor disandangnya setelah berhasil menggerakkan sumber dana keuangan pengikut tarekat dalam merintis berdirinya perguruan tinggi. Ia juga menjadi ketua yayasan universitas tersebut.

Dengan kadar kharismatik relatif kuat, Kyai Mustaín membentuk struktur di pesantren yang terdiri atas Dewan Kyai, Dewan Guru, dan Dewan Harian. Kedudukan beliau sangat dominan dan sentral. Bila di Dewan Kyai muncul gagasan yang kurang berkenan di hatinya, maka kecil kemungkinan gagasan itu akan berjalan lancar. Beliau adalah tokoh kunci kepemimpinan pondok.

Kekuasaannya mutlak. Semua bentuk kegiatan kelembagaan dikontrol dengan mudah, kebijaksanaan yang digariskan harus sesuai dengan kehendaknya, dan berbagai penyelewengan diselesaikan secara individu. Pola kepemimpinan seperti ini akhirnya tidak menyediakan ruang bagi pertumbuhan dan perkembangan lembaga, khususnya dalam melahirkan kader.

Kedua, fase kepemimpinan kolektif. Setelah Kyai Mustaín wafat, pola kepemimpinan kharismatik ditinggalkan oleh anggota masyarakat pesantren. Masuknya pendidikan formal, menuntut diterapkannya kurikulum, tidak lagi kehendak kyai. Dengan kepemimpinan kolektif, maka meninggalnya kyai tidak berarti matinya pondok. Organisasi pun menjadi berbadan hukum, yaitu yayasan. Akhirnya, hubungan sesama anggota keluarga pun mengalami pergeseran, dari personal menjadi impersonal.

Era kepemimpinan kolektif dimulai. Pengelolaan pondok pun dibagi-bagi: ada ketua umum, koordinator kepondokan, koordinator pendidikan, koordinator keamanan, sekretaris, dan biro keuangan. Semua posisi itu dipegang oleh anggota keluarga kyai. Semua berjalan efektif dan proporsional karena gaya kepemimpinan pondok sudah tidak lagi berdasarkan kharismatik semata.

Ketiga, gaya paternalistik dalam kepemimpinan. Pondok Pesantren Darul 'Ulum adalah milik pribadi keluarga kyai. Oleh karena itu, tidak ada satu pun unit kelembagaan yang tidak dipimpin oleh keturunan kyai pendiri. Suksesi kepemimpinan pun demikian. Yang berhak duduk sebagai pimpinan adalah keluarga kyai.

Relasi kepemimpinan menjadi sangat dimengerti: pimpinan bawah (karyawan yang bukan berasal dari keluarga kyai) memandang kyai sebagai kepala keluarga yang patut ditaati terutama semua perintahnya. Siapa yang berani membantah, berarti mengingkari dirinya dalam statusnya sebagai anak dan dapat memutuskan hubungan anak dengan kepala keluarga.

Kedudukan kyai sangat kuat dan tinggi. Ia adalah pemegang kendali pondok dan berpengaruh penting dalam corak kehidupan pondok. Kyai mempunyai otoritas di kalangan santri. Kedudukan itu pada gilirannya tidak memberikan kebebasan kepada bawahan. Inisiatif dan kreativitas dilakukan sekadar pengabdian seseorang terhadap otoritas kyai. Hampir tidak pernah ada usulan yang berasal dari bawah. Kalau pun ada, tidak lebih sekadar gagasan yang masih harus menunggu kearifan kyai.

Fenomena Hari ini

Setelah menelaah tulisan Sukamto di atas apa yang terbetik di benak Anda? Kira-kira pola kepemimpinan yang mana yang diterapkan di pondok Anda? Apakah yang pertama, kedua, atau yang ketiga? Seperti apa sejumlah mekanisme organisasi bekerja di pondok Anda?

Mekanisme pengambilan keputusan dan kebijakan dalam sebuah organisasi mencerminkan iklim, efektivitas, dan kualitas kepemimpinan yang ada. Begitu tesisnya. Lalu, apa faktanya? Tidak semua bisa melihatnya karena gejala atau fenomena biasanya tidak disadari oleh mereka yang sublim di dalamnya. Apalagi oleh mereka yang tidak bisa mengambil jarak dari semua itu, maka semua tampak biasa dan aman-aman saja.

Setelah dunia pesantren tradisional bertransformasi menjadi boarding school, maka topik tentang kepemimpinan sejatinya menjadi semakin menarik. Mengapa? Pada sejumlah kasus, tidak sedikit yang menjadi pengurus sebuah sekolah memiliki keterkaitan psikologis dengan sosok-sosok tertentu yang menjadi pendiri dan pimpinan sekolah. Apalagi ketika mereka adalah santri-santrinya di masa lalu, tentu relasi yang terbentuk pun sangat mirip dengan pola kepemimpinan Darul 'Ulum di atas. Pola patron klien pun menemukan konteksnya kembali di sini. Mari kita potret dan diskusikan sejenak.

Pertama, kepemimpinan tunggal. Siapa di antara Anda yang pondoknya masih menerapkan kepemimpinan tunggal seperti halnya fase kepemimpinan kharismatiknya Kyai Romli Tamim dan Kyai Musta’in Ramli? Hari ini nampaknya kepemimpinan tunggal telah bermetamorfosis menjadi ketua atau pembina yayasan tetapi sangat dominan pengaruhnya. Bila diperhatikan, pola-pola kepemimpinannya tidak berbeda dengan fase kharismatiknya kedua pimpinan Darul 'Ulum. Semua kekuasaan berpusat padanya. Perkataannya adalah titah yang harus dilaksanakan. Tidak ada yang berani menentang. Semua pakeweuh. Semua rencana dan keinginannya diamini dan didukung oleh semua pelaksana di lapangan. Bahkan seluruh bawahan berusaha memberikan yang terbaik demi terwujudnya keinginan tersebut.

Kepemimpinan tunggal seperti ini menjadikan pimpinan organisasi sebagai tokoh sentral dan kunci. Ide, gagasan, dan kemauannya harus menjadi aktivitas. Hal itu menjadi sangat mungkin karena pelaksana di sekolah adalah mereka yang punya hubungan patron klien dengannya: dulu adalah santrinya atau orang-orang yang hijrah karena kharismanya. Jadi, sangat wajar bila semua ingin memberikan yang terbaik sebagai bentuk takzim mereka kepada guru yang mereka hormati. Sisi negatifnya, kita tidak bisa mencegah banyak orang yang berlomba-lomba mencari muka dan fenomena Asal Bapak Senang (ABS) meluas, karena ia adalah pusat kekuasaan organisasi. Agenda pondok harus diselaraskan dengan agenda yang diinginkannya. 

Kedua, kepemimpinan kolektif kolegial. Salah satu contoh kepemimpinan pondok yang seperti ini adalah Trimurtinya Pondok Modern Darussalam Gontor: K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fannanie, dan K.H. Imam Zarkasyi. Perspektif kepemimpinan kolektif di Gontor adalah jawaban atas kekhawatiran masyarakat terhadap sistem kepemimpinan pondok pesantren yang selama ini dikenal dengan kepemimpinan individual yang kharismatik. Justru Gontor ingin memberikan model kepemimpinan kolektif sebagai bentuk transformasi pondok pesantren untuk terus berada dalam semangat perubahan dan spirit keagamaan. Dengan demikian, pola kepemimpinan kolektif telah memberikan corak pengelolaan pondok yang berbeda bila hanya dipimpin oleh seseorang.

Dalam pada itu, kepemimpinan kolektif akan meminimalisasi pengultusan sosok pimpinan. Tidak ada tokoh sentral dan dominan yang semua keinginannya harus terpenuhi, tetapi kepemimpinan bersama berlandaskan semangat perubahan. Di sini semangat transformasi organisasi lebih sangat dimungkinkan terjadi karena para pemimpinnya adalah mereka yang telah terbiasa dengan pola distribusi kekuasaan yang disadarinya. Dengan demikian pola pengambilan keputusannya pun akan sangat berbeda dengan kepemimpinan tunggal. Organisasi akan lebih dinamis dan konflik kepentingan dapat dihindari sedini mungkin.

Ketiga, kepemimpinan sistem. Ini revolusi kepemimpinan yang terjadi di sejumlah boarding school hari ini. Dengan berbekal sistem yang baik dan rapih sejumlah sekolah berkomitmen menjalankan sistem manajemen modern dalam mengelola pendidikan berasrama. Tidak ada tokoh sentral kharismatik di sini. Tidak ada tokoh kunci yang sangat dominan. Juga tidak ada distribusi kekuasaan di antara keluarga pendiri pondok. Pola relasinya pun tidak lagi patron klien, tetapi tengah berupaya mengembangkan relasi kesetaraan atau egalitarianisme. Dengan demikian, seharusnya tidak ada lagi pihak yang terkooptasi dan tersubordinat dalam sistem yang dikembangkan.

Sistem yang dikembangkan di boarding school hari ini seharusnya sudah mengarah kepada sistem meritokrasi yang memungkinkan setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk maju dan berkembang. Tidak ada privilege. Tidak ada hak Istimewa. Kalau pun ada sejumlah penyesuaian, itu adalah salah satu bentuk kompromi organisasi atas sejumlah aspek yang dapat dikontrol dan dikendalikan oleh sebuah sistem manajemen modern dan transparan.

Nampaknya semua berpulang kepada pondok masing-masing. Gaya dan pola kepemimpinan pondok memang sangat dipengaruhi oleh sejarah dan budaya yang dikembangkan pondok tersebut. Setiap pilihan tentu punya konsekuensi logisnya sendiri-sendiri. Pilihan sadar akan pola kepemimpinan yang dipilih akan memberikan ruang yang tidak sama satu sama lain. Tentu dengan dinamika yang berkembang sangat parsial, setiap pondok akan bergerak ke mana tipe kepemimpinan itu dihela dan diterapkan. Semua risiko organisasi akan ditanggung sebagai sebuah konsekuensi.

Pada akhirnya, sejarahlah yang akan mencatat. Pola kepemimpinan yang mana yang akan mampu membawa pondok mencapai masa kejayaaan yang diinginkan dan ditargetkan dalam blue print organisasi. Yang masih asyik masyuk dengan kepemimpinan kharismatik tentu harus berani menanggung akibat dari pilihan itu tanpa harus merasa terjebak pada pola hubungan patron klien yang melelahkan. Yang memilih kepemimpinan kolektif kolegial pun punya tantangan yang tidak sedikit di tengah iklim organisasi yang kian dinamis. Lalu, siapa yang yakin bahwa kepemimpinan sistemik akan menjadi pilihan terbaik? Tidak ada yang berani menjamin. Proses pembentukan budaya organisasi dan dinamika distribusi kewenangan dengan terus mengedepankan ikatan ukhuwah yang solid, insya Allah pondok akan mampu menemukan bentuk dan performa terbaiknya. Bukankah yang tersubordinat juga punya ruang bahagianya sendiri seperti halnya mereka yang merdeka?

Wallahu a'lam bishawab

 

Depok, Agustus 2024

 

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form